Saya, Gas Elpiji, Tiga Tamu dan Koran Harian

Di suatu siang yang panas - tersebutlah seorang gadis bersama adiknya yang tengah tertidur di kamar - sedang duduk membaca sebuah buku di ruang tivi.
Ya, gadis bermata dua yang tengah membaca itu adalah saya, bukan anda.
Baiklah sekarang kita ganti sudut pandang ceritanya menjadi orang pertama pelaku utama.

Saya tengah asyik membaca sebuah buku nonfiksi ketika tiba-tiba terdengar bel berbunyi. Itu bukan bel sepeda maupun bel gombal gambel. Itu hanyalah bel rumah. Tentu rumah saya, bukan rumah anda. Saya tinggalkan buku saya di meja dan bergegas menemui pelaku yang memencet bel rumah saya, bukan rumah anda.
Kubuka pintu rumah. Nampaklah seorang mbak-mbak berambut ikal panjang yang disemir warna kuning (bagi saya terlihat seperti Sule - Opera Van Java) dan berdandan serba tebal serta dua mas-mas yang tidak mirip. Tentunya mereka hanya rekan sesama kerja, bukan saudara kandung apalagi ibu dan anak. Salah seorang lelaki yang bertubuh pendek dan berkulit hitam membawa lembaran bertabel dan menginterogasi saya perihal gas elpiji di rumah saya, bukan di rumah anda.

Diantara yang dia tanyakan adalah; berapa unit tabung gas elpiji di rumah saya. Lalu saya balik bertanya; mau yang ukuran besar atau kecil. Lelaki itu pun menjawab; semua ukuran. Lalu saya jawab; dua. Maksud saya "dua" adalah dua pasang yang berarti empat. Tapi biarlah orang itu menulis "2" saja karena saya sedang malas berkata "empat".

Selanjutnya - masih di teras depan - dia bertanya pemilik rumah yang sedang saya injak ini. Maka saya sebutkan nama ayah saya, bukan ayah anda.

Saya melihat kolom di tabel itu untuk diisi nomor telepon yang semua barisnya tidak diisi. Itu adalah baris-baris telepon rumah untuk rumah yang mungkin baru mereka singgahi. Mereka tidak menanyakan nomor telepon rumah saya (seperti di baris-baris atasnya yang kosong). Padahal saya akan jawab 112 jika ditanyai.

Selanjutnya lelaki pendek itu bertanya tentang kode nomor tabung gas saya. Maka saya persilakan mereka duduk di ruang tamu dan menunggu saya memeriksa tabung gas. Saya tidak mengerti. Kemudian saya kembali ke ruang tamu dan mengatakan "Saya nggak paham apa itu kode gas. Apa saya perlu buka google dulu?"
Serta merta lelaki pendek itu menawarkan diri untuk mengecek tabung gas di dapur.
Lalu apa?
Saya memperbolehkannya.
.........................................................
Setelah dia mencatat nomor kode apapun itu, dia bercerita serba-serbi tentang gas dan menurut saya, saya tidak tertarik. Saya teringat pada dua orang lainnya di ruang tamu. Tanpa berkata apa-apa saya tinggalkan lelaki pendek yang sebenarnya sedang berbicara pada saya. Dan akhirnya dia mengikuti saya dari belakang.
Rupanya dua orang tadi masih di ruang tamu. Syukurlah saya pikir mereka sudah menjelajah WC kamar mandi, karena WC saya masih ada tinja yang belum saya siram (ah, ini hanya bergurau saja).

Saya telah mengumpulkan ketiga orang itu di ruang tamu dan lelaki hitam itu bertanya pada saya, "Bapak ibu dimana?" Saya jawab, "(mungkin) keduanya sedang (ke)tidur(an) (di kantor)" ----- jika tanda kurung tidak dibaca, itu berarti mereka sedang tidur di rumah, itu yang saya katakan pada mereka. Meski sesungguhnya orang tua saya sedang berada di kantor dan belum pasti sedang tidur. Saya kan bilang "mungkin" tadi.
Kemudian saya berlagak menguap dan menampakkan ekspresi mengantuk sehingga mereka meminta diri untuk pergi.

Mereka bertiga akhirnya pergi. Kemudian saya memutuskan untuk membaca koran hari itu. Suara Merdeka halaman 7 hari ini tanggal 7 Juli 2010 di kolom Surat Pembaca, salah satu artikel suratnya ada yang berbunyi "Hati-hati Menerima Tamu".

Lalu? Anda mau saya menuliskan kembali isi artikelnya?
Jari saya bisa rabies.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS